The Other Side of Being Alienated


Hell is my life.

   Akhir-akhir ini lagi banyak banget masalah yang datang. Mulai dari instagram yang di hack, temen yang entah kemana larinya, dan orang-orang disekitar gue sendiri. Awalnya gue gak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi. Tapi setelah semua hal itu menimpa, menimpa, dan menimpa gue, gue pun sadar jika sudah ada banyak masalah yang datang. Tanpa henti. Sampai gue capek untuk bertindak gak peduli. 

   Masalah instagram yang di hack sudah pernah gue tuangkan di halaman blog sebelumnya. Sekarang, masalah yang akan dituangkan disini adalah mengenai masalah pertemanan yang gak ada habis-habisnya. Gue bingung, apakah budaya pertemanan di Aceh nan jaya ini seperti ini, atau memang hal ini lah yang terjadi ketika kita ada dimasa perkuliahan? Contoh, si A bilang B dibelakang si C dan si C pun melakukan hal yang sama terhadap temen-temennya yang lain. Oh, atau, atau hanya gue yang belum bisa handle masalah budaya pertemanan di Aceh nan jaya ini? Serius, meskipun gue sudah melewati dua tahun setengah untuk berada di Aceh, tapi untuk masalah pertemanan ini lah yang paling gak sanggup gue handle.Bahkan, setelah gue bertindak sebagai orang yang sama sekali gak tau apa-apa pun masih salah juga dimata mereka.

Heran, kan?

   Sebetulnya gue sendiri juga sudah muak dan eneg untuk selalu ngeluh tentang pertemanan. Kalau saja gue selalu membicarakan atau menulis masalah pertemanan, itu gak akan ada habisnya. Sebetulnya semuanya akan biasa saja jika dari awal gue bisa bersikap tegas dan cool untuk memikirkan masalah ini. Tapi, gue malah terbawa arus, yang mana gue sendiri gak ngerti dengan semua alurnya dan siapa yang harus dipercaya. Jika awalnya gue yang terkesan open untuk semua orang, pada akhirnya gue malah terkesan cuek dan pikiran "I don't give a shit" itu berlaku.

   Tapi entah lah ya, apa salah gue. Gue sudah gak mau lagi berpikir keras tentang kesalahan-kesalahan gue yang gue sendiri pun gak tau apa dan kenapa. Tujuan gue kesini kan untuk belajar, cari beasiswa, menuntut ilmu, dan anggap saja masalah pertemanan ini sebagai pelengkap derita untuk hidup di negeri orang. Kadang memang sedih lho kalau lagi flashback zaman-zaman SMA. Zaman dimana kalo lo mau temenan sama siapa aja, bebas. Gak ada yang larang. Dulu, gue memang dekat dengan tiga orang; Ulfa, Ratu, dan Tety. Tapi kalau mau berteman ya bebas. Gak ada paksaan atau sebut kelompok kita sendiri dengan "genk". Tapi kalau di perkuliahan ini rasanya gak ada. Mindset gue tentang pertemanan itu sendiri sudah dikacaukan dengan "kalau gue dekat sama si dia, berarti gue akan dekat dengan dia selamanya" yang malah ujung-ujungnya nge-genk.

   Tapi.. sudah lah. Mungkin sekarang gue memang sedang diuji lagi dengan orang-orang yang lain dan masalah yang lebih besar juga. Sikap gue? Gak bakal ngapa-ngapain kok. Untuk bertindak gak ngapa-ngapain aja masih salah, apalagi bertindak yang lain? Memang terkadang gue terkesan punya pandangan negatif atau pikiran sempit. Tapi padahal, intuisi gue begitu adanya. Kadang, gue bisa membaca keadaan dimana ada orang yang "sreg" kalo ada gue, atau pun sebaliknya. 

"You should be careful with the act of fake. It can be good, or bad. It just depends on how you play it. Whether for the right people, or wrong people." 

All the best,
Farrah

Posting Komentar

0 Komentar