LOLITA


 

"She was "Lo", plain "Lo" in the morning...

standing four-feet-ten in one sock.

She was "Lola" in slacks, she was "Dolly" at school...

she was "Dolores" on the dotted line.

In my arms she was always...

Lolita.

Light of my life...

fire of my loins.

My sin... my soul.

Lolita..."






Kira-kira begitu lah prolog dari film Lolita. Puitis banget, kan? 

It's been two days for me for having watched Lolita (an 1997 remake movie from the same title - Lolita as how it first performed in 1962), and I still can't get over it until NOW!!

I'm feeling crazy. 

   So... Selasa kemarin, gue nonton film Lolita. Film ini release tahun 1998, tapi remake dari tahun 1962. Sebetulnya ini film yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama, Lolita, yang ditulis oleh Vladimir Nabokov. Awalnya ditulis di bahasa Perancis, tapi ditranslate ke Bahasa Inggris. In my opinion, awal diterbitkannya novel ini menuai banyak kontroversi. Bukan hanya novelnya, tapi juga awal peluncuran filmnya (Loita - 1962) yang di direct oleh Stanley Kubrick. Gue belum nonton sih film ini di versi 1962-nya, tapi cukuplah untuk nonton remake-nya. Sama-sama seru, kok. 

    After watching the movie, something just coming through to my head, how can?
 
   As we know, Lolita itu sebutan untuk nama anak-anak gadis usia 14/15 tahunan. ABG atau cabe-cabean "ibarat"nya. Nah jadi, di film ini, bukan hanya menjelaskan tentang anak gadis usia 14/15 tahunan saja, tapi... tapi, yang membuat gue terkejut adalah, bagaimana seorang pria paruh baya (middle-aged man) jatuh cinta sama anak sekecil itu. Parahnya lagi, si bapak ini pun punya rasa yang gak biasa dengan si anak gadis ini padahal si anak sudah menjadi anak tirinya. 

   Nah loh, ribet, kan? Okay, gue akan jelasin plot ceritanya menurut pandangan gue sendiri.

   Jadi, prolog film itu menjelaskan tentang seorang pria bernama Humbert jatuh cinta sama seorang gadis bernama Annabel di usia remajanya. Ketika sedang dipuncak asmaranya (tsaahhh), si Annabel meninggal karena sakit typhus. Si Humbert sedih bukan main, sampai gak bisa ikhlas. 

   Nah, dari situ lah ceritanya dimulai. 

   Sampai akhirnya Humbert menjadi seorang professor sastra Bahasa Inggris, Ia pindah ke Amerika untuk melanjutkan pekerjaannya. Setibanya di Amerika, Humbert tinggal di rumah seorang janda cantik (Mrs. Charlotte Haze) dan si janda punya anak gadis yang bernaman Dolores Haze. Disinilah letak menariknya. Ketika Humbert pertama kali melihat Dolores, Ia langsung terkesima, seolah-olah melihat bidadari yang jatuh dari langit, sembari mengatakan "...Beautiful..." Dan dari situlah Humbert sering memperhatikan Dolores diam-diam. 
   Dolores cantik. Wajahnya menarik. Entah beberapa kali Humbert secara diam-diam melihat Dolores dengan penuh hasrat. Bagaimana tidak, Ia memang jatuh cinta, gak ada lagi akal sehal dikepalanya. Tapi, karena beberapa sikap yang gak disukai Ibunya, Dolores dititipkan ke summer camp. Akhirnya, setelah beberapa bulan Humbert tinggal di rumah janda itu, atas surat yang secara tidak langsung menginginkan dirinya untuk melamar Mrs. Haze, Humbert akhirnya menikahi janda cantik itu.
   Humbert seseorang yang apik. Ia menyimpan buku diary yang isinya tentang Dolores disebuah laci meja. Mrs. Haze penasaran dan membuka laci itu. Dan ternyata... Mrs. Haze sakit hati dengan isi yang ada di buku diary itu.Seluk demi seluk, Mrs. Haze terbunuh ketika ingin mengirim surat ke Dolores. "Hmm, waktu yang tepat." mungkin itu kalimat yang diucapkan oleh Humbert ketika melihat istrinya yang mati. Dalam beberapa hari kemudian, Humbert langsung mempersiapkan pakaian-pakaian Dolores dan menjemput Dolores di summer camp-nya lalu mengajak gadis kecil itu keliling Amerika Serikat.
   Pokoknya, Humbert dan Dolores gak pernah menetap disuatu tempat. Mereka selalu pindah-pindah lokasi. Meskipun sempat menyekolahkan Dolores ke sebuah sekolah di New England (kalau gak salah), tetap saja, mereka pun pergi mengelilingi Amerika. Dan... makin kesini, Dolores makin bisa menggoda ayah tirinya tersebut demi mendapatkan uang. Tapi, suatu ketika, ketika mereka melakukan perjalanan jauh, mereka sadar jika ada sebuah mobil lain yang menguntit mereka. Ya, dan yang menguntit itu adalah Clare Quilty, seorang bos pedophile pembuat film porno. Ketika suatu saat Dolores sakit dan dirawat di rumah sakit, karena tidak didampingi oleh Humbert, Dolores pun dibawa lari oleh Clare Quilty. 

   Dan disinilah endingnya.

   Bertahun-tahun Humbert merasa kesepian karena Dolores hilang dan tidak ditemukan. Ia sedih, dan merasa sangat kehilangan (ya jelas lah, secara, Dolores kan cinta terlarangnya). Tapi suatu saat... sepucuk surat datang dari Dolores, dan menjelaskan jika Dolores sudah hamil dan butuh uang. Tanpa hitungan hari, Humbert datang ke rumah Dolores yang 'seadanya'. Dolores kini tinggal dengan pacarnya, Dick. Di rumahnya Dolores, Humbert langsung memberikannya uang sebesar $4000 yang kalau dikalkukasikan ke Rupiah menjadi Rp 52.000.000,- (segitunya ya gue..). Dolores bingung, "Ayah, kok uang yang dikasih banyak banget?" kata-kata itu yang terucap dari bibir mungil Dolores. "Lo, hanya ada dua puluh lima langkah dari sini ke mobilku, apa kamu ingin pergi dari sini, tinggalkan ini semua, dan hidup denganku lagi?" Dolores terdiam, "Tapi, kalau kamu menolak, kamu masih mendapatkan uang itu kok." Dolores bilang terimakasih dan ingin menyentuh pundak Humbert, tapi Humbert menolak. 

   DAN DISINILAH GUE NANGIS!!!!

   "No, don't touch me. I'll die if you touch me!" Ucap Humbert sembari menangis. 

   Yang gue tangkap adalah, ekspresi si aktor yang bisa buat gue nangis. Om Irons (Jeremy Irons, pemain Humbert), menghadap kebelakang, menyembunyikan rasa sedihnya, dan menghapus air matanya dengan cepat. Disini, Ia ingin menunjukkan jika Ia mampu menahan kesedihan dimana Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia sangat kecewa dengan jawaban Dolores yang menjawab "Tidak."
   Endingnya adalah, Humbert datang ke rumah Quilty dan berniat untuk membunuhnya. Mengapa demikian? Karena Quilty sudah menghamili anak tiri, cinta terlarangnya, Dolores. Dan setelah Ia membunuh Quilty, Ia dikejar-kejar oleh polisi dan akhirnya berhasil tertangkap. 

   Humbert berdiri disebuah tebing lalu melihat sebuah perkampungan. Ia mengingat betapa innocent nya Dolores dan tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi. Dan ada beberapa kata yang sampai sekarang pun gue ingat: 


What I heard then was the melody of children at play.

Nothing but that.

And I knew that the hopelessly poignant thing

was not Lolita's absence from my side...

but the absence of her voice from that chorus. 

  


   Dan akhirnya... film selesai. Dan saking berkesannya film itu, gue belum bisa move on sampai sekarang. Gue masih overthinking dengan... kok bisa ya ada cinta terlarang antara Ayah tiri dan anaknya? Apalagi, si Lolita pun masih sangat muda untuk jatuh cinta dengan seseorang setua Humbert. Tapi disinilah cinta itu mengambil peran. Gue memang bukan pakar masalah cinta, tapi yang bisa gue ambil dari film ini adalah, gak peduli usia berjarak sampai 25 tahun, kalau memang cinta ya mau apa? Kalau dia anak tiri, ya mau apa? Kalau pun orang-orang mau bilang gila atau apalah itu, ya mau apa? Semuanya memang di butakan oleh cinta *tiba-tiba ingat kejadian di bulan February lalu*.



   Ironi, bukan? 

   Untuk yang lagi bosan gak tahu mau nonton film apa, silahkan nonton film ini. Pokoknya recommended 
banget deh!!

Posting Komentar

0 Komentar