Serena dan Sheeran: Berakhir di Penguhujung Jalan

   alone, beautiful, blue, boyfriend and girlfriend, broken, colorfull, crazy, darkness, eyes, forever, friends, girl, girls, hair, happiness, happy, hat, hot, kiss, lips, lipstick, love, pink, pretty, sexy

   Setengah jam Serena berdeiri di depan rumah berwarna coklat yang mulai memudar itu. Dalam hatinya ragu, apakah Ia akan tetap menunggu sahabatnya untuk keluar dari rumahnya, atau Ia harus meninggalkan rumah itu segera. Tangannya gemetar, tubuhnya pun ikut gemetar. Hujan yang dari tadi pagi turun baru saja berhenti dan masih menyisakan rintik-rintik yang cukup lebat.

   "Serena?" Panggil Sheeran dari jendela rumahnya. "Sedang apa kau disana?"

   Serena asik mengamati rintik air hujan hingga Ia terbawa oleh rintik-rintik air hujan itu. Ia memejamkan mata seraya mengingat kembali bagaimana dulu ketika Ia mengenal seorang Sheeran. Ia kembali mengingat masa-masa dua tahun silam dan ketika dirinya masih mengenakan baju putih abu-abu melompat kegirangan sembari tertawa sana-sini merasa bangga terhadap dirinya yang lulus dari sekolah Permata Bangsa.

   "Waktu itu aku kelas dua IPA satu dan selalu berontak keras ketika guru-guru menanyakan apakah aku berhak untuk berada di kelas IPA, atau tidak. Aku berkata sekeras mungkin jika aku tidak berhak mendapatkan kelas IPA, tapi mereka semua menertawakan ku dan kembali bertanya, kamu bisa melakukan segalanya, asalkan kamu mau. Itu yang selalu aku ingat hingga saat ini." Serena membuka matanya dan berkata hal demikian. Dalam dirinya, Ia yakin jika Ia hanya sendiri di tempat itu; persis di depan rumah Sheeran. Ia tidak sadar jika Sheeran berada dekat dengannya dan mendengarkan apa yang Ia katakan sembari mengingat-ingat kenangan masa lalu.

   "Kelas dua berlalu dan tibalah kelas tiga. Aku merasakan galau yang sangat luar biasa; mengetahui kemampuanku dalam bidang IPA bukan lah suatu hal yang harus dibanggakan. Bukannya belajar, aku malah pergi ke tempat Ressa untuk berpesta hingga malam berakhir. Orang tua ku tidak pernah tahu hal yang sepert itu, karena aku selalu berakata jika aku belajar di rumah Ressa." Serena tersenyum. "Hingga akhirnya pembagian rapot dan nilai ku hancur parah, orang tua ku hanya bisa berkata jika mereka menginginkan yang terbaik dariku. Aku sadar, aku tak pernah memberikan yang terbaik untuk kedua orang tua ku. Sampai akhirnya seorang guruku merekomendasikan tempat les mata pelajaran dan aku dipaksa untuk ikut oleh Mamaku." Ingatannya sangat kuat, bahkan Serena hampir menitikkan air matanya begitu Ia mengatakan 'mamaku.' Mamanya belum lama pisah dari Ayahnya, sekitaran tiga bulan yang lalu.

   Sheeran menatap Serena yang sedang mengingat-ingat masa laluny dengan serius. Dahinya mengkerut, menandakan jika Ia sedang menjadi pendengar yang baik sekarang. Dalam perkataan-perkataan Serena yang tadi, Ia merasakan ada suatu hal yang terjadi didalam bathinnya. Dadanya berdegup kencang. Tangannya tak sanggup lagi menyentuh apapun, kecuali tangan Serena yang lima senti lagi dapat tergapai olehnya. Tapi Sheeran menahan itu semua dan kembali untuk tidak memperdulikan seorang perempuan yang berada tepat di depannya. Ia malah kembali mengingatkan dirinya, jika Serena hanyalah teman baiknya, tidak lebih dari apapun meskipun dalam dirinya Ia mengatakan hal yang sebaliknya; jika Ia memang pantas untuk Serena.

   "Sampai akhirnya aku masuk dan belajar di tempat les itu. Awalnya, yang ku pikirkan adalah, belajar di tempat itu hanya buang-buang waktu, tenaga, dan uang saja. Bahkan hingga beberapa kali aku tetap pergi ke rumah Ressa untuk melakukan hal-hal gila sebelum pihak tempat les itu memberikan surat panggilan untuk Ayahku." Serena terdiam sesaat. Ia menghirup udara segar yang sudah bercampur dengan wangi tanah. 

   "Anyway, aku sangat menyukai wangi seperti ini. Wangi hujan dan wangi tanah bercampur, seakan-akan aku akan pergi untuk sesaat, lalu kembali lagi." Serena menatap Sheeran. Tapi Ia masih belum sadar jika orang yang berada didekatnnya adalah Sheeran, seorang sahabat sekaligus cinta pertamanya yang selalu Ia redam hingga saat ini.

   "Tapi takdir berkata lain. Ketika aku melihat mu, Sheer, dengan baju kemejamu yang masih kuingat hingga sekarang wanginya, hatiku berkata lain jika aku akan pergi les setiap hari. Aku akan belajar, dan mencoba untuk menata segalanya kembali. Aku merasa termotivasi olehmu, meski kau tak pernah mengetahui itu." Serena tersenyum.

   "Berbulan-bulan aku menjadi anak yang pendiam dan mencoba memahami apa yang terjadi dalam hidupku. Tuhan, ternyata aku menyukaimu. Aku menyukai mu," Katanya tegas. Bola matanya yang berwarna cokelat kehijauan itu mulai membesar dan menatap tegas Sheeran. "Kau yang selalu membuatku tertawa ceria, kau yang membuatku lupa dengan waktu; well, of course, karena aku selalu memikirkan mu, kau yang membuatku lupa dengan kelemahanku, karena menurutku, kau adalah orang pertama yang pernah menyukaiku dari kelemahanku." Jelas Serena. 

   Ucapan Serena menghentak hati Sheeran hingga Ia menjadi lemah dan seolah-olah dikelilingi oleh kenangan dulu dan membuatnya enggan untuk memikirkan hal yang lain, kecuali Serena. 

   "Kita yang dulu sering kali menertawakan tingkah konyol Jhonny dalam kelas, kita yang dulu sering kali bercerita hingga larut malam, dan kita yang dulu sering kali mengendarai sepeda hingga larut malam. Tidak ada orang lain yang melakukan itu selain 'kita'." Serena menjepit hidungnya lembut dan mengatur rambutnya yang jatuh dengan lemas. "Tapi sebagai seseorang yang selalu memendam perasaanya, bingung dengan apa yang sudah terjadi. Aku, memendam perasaan ini sudah lama dan aku menjadi bosan. Setiap harinya aku menginginkan dan mengharapkan agar kau tahu akan perasaanku, tapi kau terlihat seperti..." Serena terhenti, Ia lalu menatap Sheeran. "Kau terlihat biasa saja terhadapku dan beranggapan jika itu semua... nothing." 

   "Benarkah?" Sheeran mengadahkan wajahnya. "Benarkah apa yang kau katakan?"

   "Sejujurnya aku sudah mengingatkan diriku baik-baik agar semua ini tidak menjadi hancur seperti sekarang. Tapi apa boleh buat, hatiku berkata lain. Berhari-hari aku menyesali semuanya-tentang apa yang sudah terjadi dan berusaha untuk berhenti untuk menyukaimu, sebelum itu semua berubah menjadi cinta." Serena menatap Sheeran. 

   "Kenapa semua ini-pengakuan-pengakuan-mu baru sekarang terjadi? Aku.." Suaran Sheeran melemah. "Serena, benarkah kau berhenti untuk menyukaiku? Lalu bagaimana dengan Frank sekarang? Bagaimana dengan Frank yang merupakan suamimu sekarang, jika ternyata aku..."

   Bagaikan dibangunkan dari lamunan, Serena baru tersadar jika selama ini Ia berbicara langsung didepan Sheeran tentang segalanya, tentang awal kali Ia berjuma hingga berakhir menyesali perbuatannya untuk menyukai Sheeran. Ia tersadar ketika Sheeran menggapai tangannya erat lalu menatapnya dengan jelas. 

   "Sheeran?" Panggilnya heran. Mulutnya mulai bergetar, air matanya jatuh setetes. 

   "Serena, tolong jawab pertanyaanku. Apakah aku masih berhak untuk menjadi bagian dari dalam hidupmu?" Sheeran menatap tegas Serena.

   "Maaf, aku tidak tahu." Serena menjawab dengan cepat dan tegas. "Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah aku ucapkan?" Ia malah bertanya sebuah pertanyaan konyol.

   Serena hanya meratapi nasibnya untuk menikahi seseorang yang Ia tidak cintai. Perjodohan semata, katanya. Awalnya, Ia berpikir jika Ia menikahi Frank, maka Ia akan menyudahi perasaannya terhadap Sheeran tapi ternyata itu salah. Ia mungkin mendapatkan apa yang Ia tidak dapatkan dari Sheeran, tapi tetap saja. Ia menginginkan Sheeran, bukan Frank. 

   "Serena, jawab pertanyaanku."

   "Ayo. Ikut aku."

   Serena meraik kuat tangan Sheeran berlari hingga ujung perumahan Matahari. Ujung jalan itu merupakan sebuah pemisah antara satu pulau dengan pulau yang lain berbentuk jurang curam yang dibawahnya terdapat banyak batu-batu dan sungai yang berair jernih. Serena sering datang ke tempat ini berdua dengan Sheeran dulu. Dan ditempat ini juga, Serena memutuskan untuk menghadap kebelakang lalu menatap Sheeran dengan tegas,

   "Jangan pernah tanya jika aku masih menyukaimu atau tidak. Aku benci pertanyaan itu. Aku tidak lagi menyukaimu, aku bahkan mencintaimu. Hingga detik ini. Bahkan, aku menganggap Frank adalah dirimu, terkadang. Tapi aku harus bangun dari mimpiku dan kembali tersadar jika Frank adalah Frank suamiku, dan kau adalah kau, orang yang aku cintai. Aku benci untuk mengatakan hal ini padamu, karena bisa saja kau akan membenciku selamanya. Tapi sudah bertahun-tahun aku memendam ini semua, hingga akhirnya aku bangun dari lamunanku dan tersadar dengan segalanya jika kau lah orang yang paling ku cintai, Sheeran." Jelas Serena.

   "I love you, more than anything you know, more than anything you'd do, more than anything you deserve. I love you so much it hurts." Sheeran mengambil alih pembicaraan Serena.

   Serena menggapai kedua tangan Sheeran dan tersenyum melihatnya. Ia menyentuh wajah Sheeran dengan mesra lalu berkata "I do love you, until now. No, I can't forget even get over you. But this time is different, I am with someone else that I don't love, now. Don't you dare asking me about my feeling. Because I still am loving you, will always do, and always will, and my heart wants what it wants..." 

   Dengan perlahan Serena melepaskan tangannya dari wajah Sheeran. Ia merentangkan tangannya lalu dengan pasrah Ia menjatuhkan dirinya disudut jalan itu ke dalam jurang yang sangat curam. Dengan senyum di wajahnya, Ia berharap jika Sheeran akan tetap mengenangnya meski Ia sudah bukan lagi berada di dunia ini. Ia sudah jatuh, menghempaskan dirinya diantara bebatuan dan air yang sangat jernih. Menjatuhkan dirinya ke dalam juran merupakan pilihan akhir dalam hidupnya tanpa berpikir kedepan tentang apa yang akan terjadi dengannya dan Sheeran nanti...

(a story by Farrah Fajrianti Fonna)

Posting Komentar

0 Komentar