Welcome back to routinity, everyone!
Well, just wanna let you know, I'm back to Aceh and I'm so so ssooo happy for it.
But another story just happened while I was in Jakarta, so yeah, I'm gonna talk about it a little bit here.
So my mum got BIG accident when she had study tour with her students from her school and I was really shock for it. I told you about this on my last post so yeah just thought you'd know about the story behind all of it. But you know, God is never sleep and HE's always there when I need him the most, so I asked him about these powerful demands.
Sebetulnya jika ditanya gue senang atau tidak ketika gue di Jakarta, gue pasti bakalan jawab "Seneng abis!" - karena memang itu yang gue rasa. Dari awalnya yang punya pacar (tapi gue tidak pernah menganggap dia jadi pacar gue, sih), putus karena diselingkuhin (well, I think I deserve that), sampai akhirnya gue kembali akur dengan yang dulu-dulu. Memang fun banget waktu gue di Jakarta, sampe-sampe pas balik ke Aceh galau dan gak mau balik lagi ke Aceh. Tapi.. all the way, gue kan juga punya kehidupan sendiri di Aceh.
Jadi kok bisa balik baik lagi sama yang dulu-dulu, Far?
Itu satu pertanyaan yang gue gak tahu harus jawab apa. Karena memang gak tahu. Oh, mungkin Tuhan sayang sama gue, jadinya IA memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk gue, sehingga gue bisa menikmatinya. Jadi ada suatu kejadian, dimana pada hari itu gue benar-benar nge-flashback tentang apa saja yang sudah terjadi dengan gue. Bulan februari dulu, tepat dimana bulan penggalauan gue, gue sempat tidak akur dengan beberapa teman di Jakarta. Gak perlu gue cerita, bagi sebagian orang sudah paham siapa dia. Jadi gue itu seperti anak oon yang tiba-tiba suatu sore jalan sendiri dan melewati depan rumahnya sambil berpikiran, "Rumah itu... banyak kenangan disana. Pertama kali gue dan dia ... hingga akhirnya gue harus menderita begini." Memang agak lebay, gue akui itu. Tapi itu yang ada di hati gue, jadi ya kenapa enggak? Memang, jika dipikir-pikir sekarang, gue malah kembali bertanya pada diri gue, "kok gue mau sih ngelakuin hal sebodoh itu?"
Padahal, jalan cerita antara gue dan dia belum tahu berending dimana. Apa endingnya di liburan kemarin, atau endingnya begitu saja, atau, hanya atau, endingnya di pelaminan? Jadi pas liburan kemarin di Jakarta, justru gue mendapatkan balik apa yang tidak gue dapatkan dulu-dulu bahkan lebih.. Intinya, gue kembali akur dengan dia. Gue mau cerita hal-hal apa saja yang sudah terjadi antara gue dengan dia di blog ini, tapi takut dianggap terlalu frontal.
Bahkan, ketika gue sedang berada dengan dia, sempat-sempatnya gue membuka blog ini dan membaca seluruh post tentang dia sembari tersenyum, "Andai saja, Tuhan.. Andai saja jika..." Harus gue akui, memang hingga detik ini, gue belum sanggup melupakan segalanya. Makanya akhir-akhir ini gue sering nge-post tentang move on di sosial media. Karena hal yang paling susah dilakukan itu di kehidupan ini ya move on. Sebetulnya benar sih apa yang gue tulis di blog ini bulan februari lalu (I'm Happy, I Move on), gue memang bener-bener move on dan akhirnya BISA LUPA dengan segalanya, saking sakit hatinya. Tapi.. setelah kemarin ini segalanya berubah, gue gak bisa nyangka jika gue jatuh ke lubang yang sama lagi. Intinya, gue bingung sendiri deh dengan segalanya.
Dibilang tidak bersyukur, gue bahkan sangat bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Gue sangat bersyukur dengan momen-momen yang sudah terjadi. Semoga jadi kenangan yang sangat indah untuk gue. Gue sangat menikmati segalanya yang terjadi, jadi tidak ada penyesalan, hanya saja saking menikmati sampai-sampai gak inget apa imbasnya nanti. Imbasnya ya jadi kayak sekarang ini, terluntang-lantung sana-sini menyikapi susahnya move on.
Sampai akhirnya berakhir dengan argumen seperti ini:
Sebenernya gak ngerti juga harus nunggu, pergi, atau melupakan. Ada yang bilang, 'jangan sampai dia pergi ke yang lain, karena yang lain lebih perduli'. Seakan-akan gue memang harus peduli dengan dia. Tapi, ngapain juga peduli jika dianya saja biasa saja? Gak ada timbal baliknya? Bete. Bosan. Jadi enek sendiri. Tapi, kalau harus pergi, ya gue harus terima resikonya. Gue akan berusaha untuk tidak mengenalnya lagi. Selamanya. Memang ini baik, tapi.. berarti usaha gue selama ini sia-sia, dong? Gue gak mau jika sudah berusaha tapi malah sia-sia. Tapi kalau disuruh melupakan.. gue rasa untuk sekarang-sekarang ini belum bisa. Gue bisa bertahan selama ini karena kenangan. Ya, kenangan-kenangan dulu. Ya, meskipun hanya kenangan, tapi karena itu lah gue bisa kuat hingga hari ini. Ribet kan jadi gue? IYA! Jujur, sebetulnya gue menginginkan kejelasan tentang ini semua, Kalau dia memang tercipta untuk gue (dan gue harap memang demikian), biar lah gue tahu. Tapi kalau memang kita dipertemukan karena sebuah alasan, jadikan lah alasan itu alasan terbaik yang pernah ada.
Gue sayang sama lo, tapi gue terlalu pengecut untuk membiarkan lo tau, jadi gue takut untuk ngaku. Seandainya saja gue mengakuinya, gue juga takut jika lo berubah menjadi seseorang yang membenci gue. Dan gue juga takut kata-kata 'penolakan' yang mungkin lo keluarkan nantinya. Jadi gue akan bertahan untuk menjadi teman lo saja, sama seperti lo dan yang lain.
So, God, why did you put me in that situation again and again after I feel a little bit free without him? I even have already prepared if one day he'd go. I've prepared well, but then you take him back to my life.. Now tell me what should I do?
-- me
0 Komentar