Dear diary,
I was in a shock when he gave me a pink rose and surprised me a little when I parked my bike as I arrived to the place that we had promised before.
Dengan hati yang setengah menerka-nerka, "kira-kira ngapain gue mau jauh-jauh datang ke tempat ini? Hanya ketemu dan berbicara? Pointless." Karena apa yang terjadi semalam sudah sangat jelas, kalo dia bilang dia itu gak baik untuk gue, dan jika gue tetep keukeuh dengan pendirian gue yang menginginkannya sedalam itu, dia bisa saja datang dan mengubrak-abrik hidup gue yang menurutnya sudah indah ini.
Ah, tapi gue gak tau apa yang akan terjadi dalam waktu kurang lebih dari tiga jam kedepan nanti.
Gue duduk, menikmati secangkir cappuccino hangat yang baru saja gue pesan. Senyum sana-sini untuk menghindari kekhawatiran hati. Sebetulnya tujuan gue datang kesini dan bertemu dengan dia itu untuk membicarakan tentang kelanjutan hubungan ini, bukan yang lain. Karena semalam juga gue sempat bilang "Thanks for everything," yang menurut dia seperti kalimat perpisahan. Padahal, gue bukan ingin berpisah, tapi membatasi diri aja supaya gak keterlanjuran sayang.
Dengan mearik napas panjang langsung membuangnya perlahan, gue mulai membuka percakapan. "Jadi ada apa gue diundang ke sini?"
"Pengen bicarain sesuatu yang serius."
"Bilang aja apa, jangan buang-buang waktu. Time is money bro!" Lalu gue tertawa. Padahal gak ada yang lucu.
"... Jadi ini tentang yang semalam. Kamu serius ingin ada aku dalam kehidupan kamu?"
"Sebentar, sebelum dilanjutin gue mau tanya, boleh?"
"Boleh."
"Sebenarnya tujuan lo baik-baik ke gue itu karena ada motif sendiri atau gimana sih? Lo baik-baik ke gue karena lo emang baik, atau pura-pura baik supaya dianggap modus, atau pura-pura baik karena ingin php-in gue? Sorry, kalo emg niatnya dari awal udah gak bagus, lebih baik gue stop. Gak mau sakit hati."
Dia tertawa. "Dalam suatu hubungan, php itu wajar dan sakit hati itu udah hal yang lumrah."
"Sebetulnya kalo lo tanya 'serius ingin ada aku dalam kehidupan kamu' itu pasti jawabannya IYA lah, untuk saat ini. Gimana enggak, lo ada ketika gue memang butuh seseorang yang care terutama dalam menghadapi Nyokap yang kena musibah, waktu gue ultah lo kasih bunga, sering bbman juga, lo dianggap baik sama keluarga gue, jadi ya kalo lo nanya begitu gue jawab, iya gue serius...."
Untuk sesaat, kami terdiam.
"Bukannya apa-apa, aku cuma takut kehadiran aku malah hancurin hidup kamu."
"Belum dicoba, ya mana tau."
"Aku gak mau maksa loh,"
"Gue juga. Jadi gimana cepet dong, to the point. Gak suka yang bertele-tele dan banyak alibi." Secara tegas gue langsung berkata seperti itu.
"Jadi bingung sendiri harus bilang bagaimana."
"Look, sekarang begini. Kalo dibilang sayang, sebetulnya iya, dari dulu. Cuma gue ngerti posisi gue, dan gak mungkin gue ngedeketin lo sedangkan lo dulu masih pacaran sama besties gue. Jadi ya gue diam. Memang lebih baik begitu kan, dari pada harus maksain. Dua tahun udah berlalu, sekarang ya sekarang. Gue bukan anak SMA yang harus sembunyi-sembunyi nampakin rasa sayang gue. Jadi ya terserah juga mau percaya atau enggak, gue sayang sama lo. But don't worry, gue akan membatasi rasa sayang ini kalo malam ini ujung-ujungnya harus berteman." Jelas gue. Dengan nekadnya gue berkata begitu. Soalnya jika gue pikir, bener juga sih, udah bukan anak SMA lagi yang sering main petak umpet kalo lagi pdkt. Jadi apapun itu yang ada di otak gue, semampunya gue bilang jujur.
"Ya, aku juga gitu kok." Lalu dia menarik napas panjang. "Jadi.. kamu siap terima aku apa adanya?"
"Lo siap terima kondisi gue yang begini?" Lalu terdiam. "Bentar, tapi gue gak sama sekali yakin kalo nantinya pas gue balik ke Aceh, gue bisa LDR sama lo. Gue si fine-fine aja dan gak segenit lo. Kalo dibilang bisa apa enggak jaga komitmen, insha allah bisa. Cuma gue gak yakin hal ini dengan lo."
"LDR sebenarnya bisa asalkan ada komitmen."
"Ya jadi komitmennya apa?"
"Cukup percaya aja. Percaya. Karena cowok itu butuh kepercayaan dan pengakuan, sedangkan cewek itu butuh perhatian."
Karena saat itu gue berpikir tentang gimana jeleknya dia dan gue menyanggupi untuk itu, dengan mudah dan dongonya gue jawab, "Iya, akan percaya." Meskipun setengah hati bilang, 'akan percaya dengan kebohongan lo.'
"...Jadi... mau menemani aku dan hari-hari aku?"
Gue malah jadi bingung sendiri. Pikiran tentang gimana senangnya gua waktu itu termakan ketika gue balik mikir 'Gak, gak mungkin. Dia kan genit. Dia kan dulu nyakitin besties gue, masa iya gue harus..? Ah, tapi itu kan dulu. Gue harap dia berubah sejak gue sudah ada dalam kehidupannya. Gue harap iya. Gue pasti bisa kok ngerubah dia jadi lebih baik, dan gue harus bisa!'
"Kok jadi melamun, gimana jadinya?"
"Jangan suka nanya kalo udah tau jawaban." Jawab gue agak sinis. Padahal gue gengsi aja mau jawab IYA.
"Mau ya? Please.."
Gue tersenyum dan mengangguk, "Yes, why not?"
Akhirnya, apa yang terjadi pada tanggal 27 Juni 2014 itu terukir didalam otak gue hingga saat ini. Gue bahkan masih bisa merasakan gimana indahnya masa-masa dulu sebelum masa-masa sekarang datang. Indahnya masa dulu, masa dimana gue dapet panggilan sayang setiap hari, masa dimana ada voice note yang masuk ke hape gue dan kadang buat gue senyum-senyum sendiri, masa dimana dia hanya memperhatikan gue bukan yang lain.. masa-masa itu gak akan semudah itu gue lupakan. Dan sangat munafik jika gue bilang gue akan melupakan. Dan pada tanggal itu juga, hati gue terbuka untuk seseorang yang gue pikir akan berubah dan menjadi beda. Saat itu juga gue sadar, apa yang gue inginkan ada di depan mata gue.
- Pada tanggal 27 Juni 2014 itu juga, gue ngerasa gue jadi alay.
0 Komentar