Pecah Amarah

angry, black and white, feel, jump


Hello Blogss!! God, I really wanna throw up all of my anger hereeee!!!!

   Sorry kalo akhir-akhir ini gue seneng banget nulis tentang kegalauan dan homesick berada di ujung pulau ini. Bukannya apa-apa, tapi apa yang gue rasa memang begitu adanya. Uring-uringan, berantakan, sok tegar, sok alim, sok segalanya, padahal, gue ngerasa gue benar-benar kehilangan jati diri gue selama gue tinggal ditempat ini. 
   Basically, gue suka untuk mencoba hal-hal baru. Termasuk pindah ke tempat baru. Di lingkungan baru. Dengan orang baru. Dengan rasa kuliner baru. Gue suka sama semua itu. Tapi... apa yang terjadi disini adalah, gue jadi gak suka dengan segala hal. Bukan masalah berhijab atau maslah kuliner atau pun masalah orang-orangnya, melebihi masalah dimana gue tinggal dan dengan siapa gue tinggal.
   Sedikit cerita nih. Awalnya pas tahu gue lulus sbmptn di Unsyiah sini, gue seneng banget. Langsung sujud syukur. Tapi, entah kenapa, beberapa menit kemudian gue langsung sedih dan galau abis. Gimana enggak, gue harus pindah ke kampuang nan jauh disana (Baca: Aceh) dan meninggalkan semuanya disini? OH NO! Bahkan, gak ada waktu lagi untuk berkumpul dengan teman-teman dan mengucapkan perpisahan.

“Kak, kita hari rabu besok langsung ke Aceh ya. Mama sudah pesan tiket. Tiket untuk kamu satu, untuk mama pulang-pergi satu. Packing dirumah ya Kak.” Tiba-tiba saja hape gue berdering, dan dengan nada menakutkan (seolah-olah lagi dikejar sama kanibal, Nyokap bilang begitu ke gue)
“Oke.” Jawab gue cepat. “Wait, pulang-pergi satu tiket? Buat mama aja?” Tanya gue balik.
“Iya Kak, dan mama juga pulang hari jum’at berikutnya. Jadi kakak disana sampai semester satu habis.”

Lalu telepon terputus, nutnutnuuutttt~

Lalu yang terjadi dengan gue kala itu adalah, “BISA GAK NGUBUR DIRI SEKARANG?!!” Mendengar apa kata Nyokap tadi, gue langsung shock parah. Jadi, gue harus di Aceh sampe kuliah semester satu abis gitu? OMG! Lama banget! Untuk nyuci aja masih dicuciin, setrika baju pun masih disetrikain. Bahkan, mandi pun masih dimandiin (sumpah, gue bohong). Apalagi kalo gue tinggal sendiri bray? Bisa-bisa pulang ke Jakarta nanti muka gue bisa lebih dekil dari gelandangan dan gaya dandanan tak wajar. Dan gue tinggal dimana? Dirumah Om itu? OH GOD KILL ME NOW!

*brbpingsan*

Perlahan, gue mulai packing baju-baju panjang, jiblab, dan yang lainnya. Dalam hati terus berpikir, ya Tuhan, ini detik-detik sisa waktu gue di Jakarta, apa yang harus gue lakukan? Rasanya untuk ke rumah nenek untuk pamit saja gak tahu lagi harus bagaimana. Untuk pamit sama temen-temen sekolah pun gak tau lagi harus gimana. Dan yang terberat adalah, pamit sama orang-orang yang ‘pernah menjadi catatan sejarah dalam hidup kita’. No final goodbye for anything. Emang si, cuma Aceh, masih satu kawasan Indonesia, tapi kenangan yang ditinggalkan terlalu banyak di Jakarta.
   Back to the topic, "Pecah Amarah" ini gue buat karena.. karena gue memang ingin sekali menuangkan segala bentuk emosi gue yang selama ini gue pendam begitu saja. Awalnya gue pikir untuk tinggal ditempat saudara enak, tapi makin kesini kok makin gak enak-in ya? Belum lagi setiap detik, setiap jam, setiap hari, gue harus berhadapan dengan Om gue sendiri yang wataknya dingin abis. Bayangkan saja, sejak awal hingga detik ini, dia gak pernah ngucap apapun ke gue. APAPUN. Entah nanya basa-basi, "Sekolahnya enak gak di Jakarta?" atau mungkin, "Udah hamil berapa bulan?" eh salah. Gak ada satu pun kata yang pernah dilontarkan dari mulutnya itu. Dan bodohnya, sudah sering gue diabaikan, masih saja kepikiran. Jadi ujung-ujungnya tetep aja serba salah.
   Sebagai orang yang numpang dirumahnya, gue ngerasa tersinggung lah. Padahal, jika gue harus ngelirik tingkah laku gue sendiri, nothing's wrong, kok. Segalanya biasa saja. Ya agak tahu diri saja sih, numpang dirumah saudara harus seperti apa. Paling gak bantu masak, bebenah, cuci piring, dll, gue sih fine-fine aja. Tapi yang disayangkan adalah, kenapa sikap Om gue begitu amat ya? Denger-denger sih karena gue gak bisa berbahasa Aceh dan selalu berbahasa Indonesia. Lah, sekarang gue tanya, emang belajar bahasa semudah itu? Gue aja belajar bahasa inggris lebih dari enam tahun dan masih ngerasa kurang banyak. 

Salah gue dimana?

   Mungkin, jika akhir-akhir ini gue selalu posting tentang kegalauan dan homesick itu wajar-wajar saja. Belum lagi masalah sepele itu, ada lagi masalah lain. Biasa deh, orang yang pernah kita letakkan harapan kita tiba-tiba membuyarkannya begitu saja. Terkadang kalau gue sedang duduk sendirian dan megang hape, gue jadi teringat masa-masa lalu lagi. Masa dimana dia dan gue lagi klop abis. Masa dimana banyak orang yang bertanya-tanya tentang 'ini' tapi 'ini' hanyalah pertemanan biasa. Tapi sekarang... AH, sudahlah. Mungkin Tuhan hanya menitipkan dia hanya untuk sementara and who knows, we'll meet again in another time, won't we? Satu kata: Gue seneng aja bisa deket sama lo. Meskipun endingnya... (isi sendiri, deh). Dan satu kata lain lagi: I wish nothing, but the best for you.
   Jika ditarik hikmahnya lagi, mungkin Tuhan sayang sama gue. Makanya dengan beribu-ribu pertanyaan yang gak bisa gue jawab, Ia melempar gue ke tempat ini. Mungkin Tuhan memang menyuruh gue agar menjadi wanita sungguhan dan bukan cabe-cabean lagi (lawakkan, guys). Atau mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan segalanya, dengan jalan yang rumit bagi gue, dan akan menghadiakan gue sebuah akhir yang bisa disebut... happy ending.


- farrah

Posting Komentar

0 Komentar