Dia Tanpa Aku

***
Bapak selalu saja sedih jika melihatku menangis. Bapak adalah satu-satunya orang yang amat ku sayangi didunia ini melebihi apapun. Baru tiga hari yang lalu aku baru saja merasa baik dari leukimia ku. Sekarang, aku harus terbaring di rumah sakit lagi. Jika ini bukan takdirku, aku tak akan berbaring lemah seperti ini.

“Luna, kamu pasti akan sembuh, sayang.” Kata Bapak sembari menangis.
“Enggak, Pak. Sejak awal aku dirawat disini, aku sudah tidak berpikir jika aku akan sembuh. Aku akan mati, Pak. Iya, aku akan Mati.” Kata aku.
“Kamu tak boleh seperti itu. Tuhan selalu menciptakan kemudahan didalam kesulitan.” Kata Bapak.

Baru saja Bapak menemaniku, sudah ada telpon dari kantor untuk meeting. Aku hanya berpura-pura tidur. Hanya untuk membuat Bapak senang. Tapi aku tahu, apa yang akan Bapak lakukan. Bapak akan pergi untuk meeting, kan?
Hujan di sore itu membuatku sejenak berpikir. Bagaimana jadinya Rangga tanpa aku? Rangga adalah seseorang yang telah ku anggap sebagai kakakku, malaikat penjagaku, meskipun Ia jauh. Tiap kali aku melihat diaryku yang berceritakan tentangnya dan diriku, aku selalu saja melamun. Melamun, tak memikirkan apa-apa. Yang ada di kepalaku hanyalah Rangga semata.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Rangga. Tampaknya Rangga sangat sedih. Apa yang terjadi? Apakah aku akan mati dengan hidup yang sia-sia?
“Iya.” Jawabku singkat. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang buruk yang terjadi. Wahai Ranggaku, ceritakanlah, apa yang sedang terjadi?
“Demi Tuhan, Luna. Aku sangat mencintaimu. Aku bahkan tak bisa hidup tanpamu.” Kata Rangga sembari menahan air matanya untuk jatuh.
“Memang ada apa, sih? Mengapa tiba-tiba kamu berkata seperti itu?” Tanyaku heran.
“Penyakitmu, Luna. Sekarang sudah semakin parah. Apakah aku akan bisa berada untukmu selamanya? Aku..” Air mata Rangga jatuh dan aku sangat membenci hal itu.
“Aku tahu. Tapi, maafkan aku ya, jika aku pernah berbuat salah.” Jawabku.

Semakin besar petir yang seolah menyambar-nyambar dan hujan yang sangat deras itu membuatku takut akan kehilangan Rangga. Ini merupakan hal pertama kali yang pernah aku lakukan. Aku sangat takut kehilangan Rangga. Dia tanpa aku? Aku tanpa dia? Tuhan, tolonglah aku. Aku sudah tak sanggup dengan derita yang datang terus-menerus ini.
Bapak kemana? Anakmu sudah sekarat mengapa kau belum pulang juga, Pak? Apakah kau masih memilih pekerjaanmu dibandingkan anakmu? Rasanya aku tak sanggup lagi untuk bangun dari tempat tidur lusuh ini. Rasanya aku sangat takut untuk meninggalkan Rangga. Rasanya aku tak siap menghadapi kematian ini.

“Raa..ra..Rangga...” panggilku perlahan dan lirih.
Rangga terbangun dan mengambil kacamatanya. “Iya. Ada apa?”
“Dengan sepenuh hati ini aku bicara. Atas izin Tuhan, aku bicara. Aku sangat mencintaimu, Rangga. Yakinlah.”
Rangga melihat ke alat deteksi napas sialan itu. Iya sangat terkejut, bahwa alat itu sudah tidak lagi menyala kecuali hanya tersendat-sendat. “Tenanglah, aku akan panggilkan dokter.” Serunya.
“Sudahlah, jangan.. biarkan aku pergi dengan tenang. Aku akan selalu hidup dihatimu, Rangga. Ingatlah.”
“Tidak Luna! Kamu tak boleh mati! Apa jadinya aku tanpa kamu?” tangis Rangga.
“Aku sangat mencintaimu, Ra..rang..Rangga..” Ucapku dengan air mata.

Bapak datang tepat aku berkata seperti itu. Rangga menangis tersedu-sedu. Aku melihat sekitarku. Bapak menangis dengan sangat haru. Baiklah Rangga, jika ini yang terbaik untuk kita, mengapa tidak? Aku akan selalu hadir dalam hatimu. Aku akan selalu ada untukmu, meski dengan hanya bayanganku.
Inilah percintaan kita. Percintaan yang terlalu rumit untuk gadis seperti aku. Jika kamu memang benar-benar cinta terhadap apapun itu, jangan barkan lah itu pergi. Karena, cinta sejati itu bukanlah dongeng. Cinta sejati akan tumbuh jika ada pengertian diantara kalian.

-Selesai-


Posting Komentar

0 Komentar