Antara PTN dan PTS (?)

    Hi bloggie! Welcome back, still with me, Prof. Dr. Ir. Farrah Bitch Fonna, S.K, S.S, S.H, Mcd Delivery

hot, art, ask, beautiful
   Malam Kamis ini gue habiskan dengan memikirkan pemikiran yang super panjang dan rumit. Ya, ini memang rumit. Apa lagi kalau bukan masalah masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Suasta (PTS). Keduanya penting di zaman globalisasi ini. Masalah biaya juga gak kalah penting. Tapi, yang ditakutkan untuk kuliah pada zaman sekarang yaitu masalah keuangan. Nothing is never comes better if it's about money and none of 'them' calm down about it.
   Awalnya kepikiran untuk nulis masalah ini sih karena tadi sore. Ketika gue baru saja memarkirkan motor di pelataran rumah, tiba-tiba saja Bokap memanggil gue seperti bebek yang kelaparan. Ia hanya ingin menunjukkan gue dua buah kartu undangan beasiswa dari dua universitas swasta di Indonesia. Secara perlahan, gue membuka salah satu amplop berwarna orange itu dan membacanya. "Selamat!" Tulisan awalnya. Lalu setelah gue membaca lagi, ternyata beasiswa itu berupa potongan harga saja. Dan gue pun membuka amplop yang kedua, berwarna putih. Amplop beasiswa ini datang dari Sekolah Perhotelan Internasional gitu. Dengan merasa aneh, gue pun membacanya. "Selamat!" Tulisan awalnya. Lalu, setelah gue membaca hingga bawah, gue beasiswa itu merupakan beasiswa potongan harga juga. Anehnya, gue sama sekali belum pernah mendengar nama sekolah itu dan juga mengikuti tes-tes akademik supaya dapat beasiswa di sekolah itu. Sedikit ragu-ragu, akhirnya gue menutup surat itu dan terduduk lelah.

    "Dari universitas *beep* sudah memberikan beasiswa dengan potongan harga, Mah." Ucap gue.
   "Semua universitas memang begitu. Swasta, terlebihnya. Salah satu metode atau trik untuk dapat mahasiswa barunya. Termasuk universitas swasta terbagus juga." Jawab Nyokap.
   "Tapi... apa tidak sebaiknya dicoba dulu saja? Siapa tahu memang rejeki Farrah bukan di PTN.. Bagaimana?"
   "OOOO.... TIDAK!" Bentak Bokap.

   Sengit.

 "Kenapa tidak? Buat cadangan it's okay, lah. Kalau pun kita masuk PTN pada akhirnya ada konskuensinya. Uang dikembalikan KOK." Jawab gue agak sewot. Maklum, jika gue mamang dalam keadaan sangat lelah terus dibentak, gue bisa lebih membentak lagi.
   "Jangan terlalu pesimis di PTN, Kak. Dicoba dulu saja." Jawab Nyokap.

   What? Lo kira ini apaan dicoba-coba? Ini untuk masa depan, WOY! 

   Akhirnya. Dengan jidat mengkerut gue langsung masuk kamar dan memikirkan hal ini. It's because I'm wondering, bukannya pembiayaan antara negeri dan swasta memang sama, ya? Jika memang berbeda, paling tidak berbeda beberapa persen saja. Masalah kualitas juga. Tidak semua PTN itu bagus dan PTS itu tidak bagus. Begitu pun sebaliknya, tidak semua PTN itu tidak bagus dan semua PTS itu bagus. Dan sejauh ini jika gue lihat perbandingannya, malah banyak anak-anak mahasiswa PTS yang sudah mengukir nama baik Indonesia dalam kancah Internasional.
   Selain itu, gue juga tidak mau terlaly dititikberatkan dalam PTN. Gue hanya khawatir, jika gue tidak lolos dalam PTN, dan disaat itu juga pendaftaran PTS sudah ditutup. Mau jadi apa gue? Mau kerja? Mau kerja apa untuk seusia semuda ini selain menjadi cleaning service atau OB? Gue jadi bad mood sendiri karena merasa diskriminasi terhadap keinginan. Orang tua memang selalu memberikan jalan terbaik untuk anaknya. Tapi tidak selamanya. 
Hot, art, beautiful, black and white   Dan sebenarnya gue juga ingin masuk FISIP prodi Kriminolgi UI tahun ini. Atau pilihan kedua Pendidikan Bahasa Inggris di Unsyiah, Aceh. Memang banyak yang harus dipersiapkan. Tapi, sekali lagi gue katakan, apa tidak lebih baik untuk mendaftar di PTS dulu, baru kita lihat hasil kedepannya? Oh God, ternyata hidup ini tidak selalu indah dan di film-film. Hidup ini ternyata hanya jembatan untuk menuju kematian. 
   Kawan, beberapa hal diatas gue sampaikan bukan semata-mata untuk membeda-bedakan atau mengotak-kotakkan antara PTN dan PTS. Pada hakekatnya semua sama. Mereka ingin mencerdaskan anak bangsa dengan cara mereka sendiri. Jika tidak ada mereka, mau dikemanain SDM kita yang siap untuk menjadi pemimpin Indonesia suatu hari kelak? 

Okay, I guess you should take the positive sides than the negative ones. Bye :)



Love, Farrah F Fonna

Posting Komentar

0 Komentar