Serena dan Sheeran: Malam Terakhir

  

   "Ya, tepat bulan April yang lalu." Ucap Serena singkat sembari menatap Sheeran sesaat. Ia menghembuskan napas panjang dan membuangnya perlahan, hanya untuk membuat dirinya lebih rileks dan tidak terlihat gugup di depan wajah Sheeran.

    "Ada apa dengan April yang lalu?" 

   "Kau tidak menyadarinya, kan?" Jawab Serena cepat. "Kau memang tidak pernah menyadarinya. Bahkan sedikit pun." Serena melanjutkan. Tatapannya menjadi muram, marah terhadap tingkah Sheeran yang menunjukkan jika mereka tidak pernah saling suka. "Tapi tetaplah seperti itu. Tetaplah seperti ini, agar kau selalu seperti ini, dan tidak pernah membenciku."

   Tepat pukul sebelas malam itu, Serena dan Sheeran masih saja terjebak di keramaian lalu lintas kota. Semestinya Serena sudah harus berada di rumahnya sekitaran pukul sepuluh yang lalu, tapi kali ini berbeda. Ia hanya ingin menghabiskan malam minggu ini berdua dengan Sheeran tanpa ada yang lain. Sebelum Ia kembali pergi untuk satu tahun kedepan lamanya (untuk pendidikannya) ke New York. Ia hanya ingin menghabiskan malam ini berdua dengan Sheeran, bukan (yang katanya) kekasihnya sekarang ini, Frank.

   "Kita harus menepi. Atau mungkin pergi ke suatu tempat yang sejuk dan tidak terlalu ramai seperti ini." Baru kali ini Serena memberanikan diri untuk mengajak Sheeran untuk pergi ke sebuah tempat yang sepi. Berbeda dari yang sebelum-sebelumnya.

   "Bagaimana jika Ayah mu mencarimu?" Sheeran menjadi takut seketika. "Bagaimana jika Frank mengetahui ini semua? Well, aku sih bisa-bisa saja.."

   "Please. Ini permintaan terakhir ku." Serena mendaratkan tangan kanannya tepat di pundak Sheeran. "Aku ingin menghabisi malam terakhir ini denganmu, bukan Frank. Lupakan tentang Frank." Ia menatap kosong jalanan dihadapannya.

   Akhirnya setelah menempuh waktu satu setengah jam, mereka sampai di sebuah tempat yang mereka sendiri tidak tahu apa namanya tapi pemandangan yang mereka lihat adalah kelap-kelip lampu perkotaan dan jika mereka menghadapkan wajah mereka ke atas, mereka akan melihat sebuah bentangan luas yang berisi kelap-kelip bintang. Suasana yang cukup romantis bagi Serena untuk mencoba meyakinkan Sheeran tentang perasaannya, agar Sheeran pun mau mengakui dan mungkin menjadikan Serena sebagai wanita yang ditunggu-tunggunya.

   "Here." Serena mulai mengambil sebatang rokok dari tas nya dan bermaksud menyalakannya saat itu juga.

   Karena Sheeran tidak pernah mendapati keadaan Serena yang seperti ini, Sheeran langsung menunjukkan sikapnya yang dingin. "Kau mulai merokok. Sejak kapan?" 

   "Akhirnya kau peduli juga dengan hal ini. Aku kira tidak. Aku kira yang kau pedulikan hanyalah mengumpulkan beberapa wanita lalu kau mulai membuat mereka jatuh cinta terhadapmu dan step selanjutnya yang kau lakukan adalah.. meninggalkan mereka." Serena menjawab pertanyaan Sheeran dengan tegas.

   "Apa maksud mu? Ku pikir kau wanita baik-baik yang pantas ku tunggu."

   "Kau tahu mengapa aku begini?"Serena menghisap rokoknya dengan perlahan. "Aku tidak akan mungkin menjadi seperti ini jika kau tidak memulainya." 

   "Ada apa dengan aku? Jujur saja, aku tidak membuatmu menjadi seperti ini. Aku menginginkan kau yang dulu."

   Serena membuang sisa rokoknya yang masih panjang sia-sia. Ia menginjaknya hingga bara api yang menyala mati. Ia lalu duduk di kursi taman dan mulai merasakan dingin yang hebat. Berkali-kali Ia berpikir tentang bagaimana menyampaikan seluruh perasaannya terhadap Sheeran di malam terakhir ini. Ia sempat mengurungkan niatnya untuk tidak mengatakan yang sejujurnya, tapi disisi lain, Ia tidak bisa. "Aku harus menyampaikannya, dan aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nantinya." Begitu bisiknya dalam hati.

   Sedangkan Sheeran medekati Serena dan duduk disebelahnya. Ia tampak sangat kecewa dan tidak percaya terhadap perlakuan Serena yang baru saja Ia lihat (merokok dihadapannya). Tatapan yang dikeluarkan oleh Sheeran dingin, sedingin suasana yang mereka rasakan. Dalam hatinya gusar, Ia tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Melihat tingkah Serena yang tadi membuatnya muak dan kesal, tapi disisi lain, Ia tidak pernah bisa membencinya. Ia menyayangi Serena, tapi Ia tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaannya. 

   "Are you cold?" Tanya Serena sembari tersenyum pucat.

   "No. But I wonder about why did you do that?

   "Do what?"

   "Stop pretending like you don't know. I hate it." Jawab Sheeran lebih dingin dari pada suasana yang mereka rasakan.

   "Okay, Sheeran. Ini semua karena kau." Serena berhenti, memandang kesal Sheeran. "Kau membuat ku berantakan, tapi kau juga yang membuatku lupa sejenak dengan kelemahanku. Itu satu-satunya yang selalu kuingatkan dari dalam diriku; jika aku tahu, secara sadar atau tidak, kau menyukaiku dari kelemahanku. Iya kan? Jawab saja iya." Serena mencoba untuk menjelaskan. "Aku tertekan dengan semua ini. Aku tidak bisa mencintai Frank seperti aku mencintaimu, meskipun aku sudah mencobanya. Semuanya gagal, dan semua jalan selalu kembali kepadamu. Aku juga bingung mengapa, dan menanyakan Tuhan tentang ini. Mungkin karena sikap kepedulian dan humoris mu itu sehingga aku seperti ini. Bukan kau saja yang muak, aku lebih muak!" Suara Serena mulai bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan tanya mengapa aku merokok, menjadi seorang wanita rapuh, dan yang lainnya. Ini semua bukan karena pergaulanku di New York. Tapi ini semua karena kau!" Serena mulai menangis.

   Menangis.

   Itu lah hal yang paling dibenci oleh Sheeran. Ia benci melihat seorang wanita menangis dihadapannya. Rasanya serba salah. Ia ingin memeluk erat tubuh Serena tapi tidak bisa. Ia ingin menghapus air matanya, tapi tangannya terasa kaku dan berat. Ia ingin memaafkan Serena, tapi tidak semudah itu. Hatinya kelu. Tingkahnya menjadi sangat dingin. Jika Ia bisa membenci Serena - yang selalu menganggap bahwa dirinya lah yang membuat Serena kacau - Ia akan membencinya. Tapi semuanya itu berbanding tebalik seraya Ia merasakan kepedulian yang sejak dulu Ia tunjukkan dan berikan untuk Serena. 

   "Belum berakhir semuanya, antara kau dan aku, lalu Frank hadir. Aku tidak bisa menolaknya, karena Frank terlihat menyayangiku apa adanya, Aku tak tega melihatnya yang selalu membawakan aku setangkai bunga mawar setiap kali kita bertemu. Memang jika itu semua terlihat gombal, tapi aku hanya ingin menghargainya saja, meskipun jauh didalam sana aku tak pernah mencintainya sedalam cintaku untukmu." Serena memejamkan mata. Air matanya yang jatuh perlahan membuat wajahnya kacau. "Bisakah kau pergi, Sheer? Bisakah kau pergi - enyah dari duniaku? Memang, terkadang benar adanya jika lebih baik aku tidak pernah tahu dan mencoba untuk tahu tentang perasaanku padamu ketimbang aku harus meredam bahkan untuk selalu mengalah atas semua ini." Serena merapikan rambutnya yang berwarna kecokelatan tua itu. 

   "Serena, aku mengerti bagaimana perasaanmu. Cukup, jangan lagi menangis. Aku tidak suka melihat seorang wanita yang menurut orang-orang disekelilingnya aneh, tapi terlihat sangat cantik dan seksi didepanku menangis karena ini." Sheeran mencoba untuk menghibur Serena, meredam amarah Serena yang makin menjadi-jadi. Akhirnya Ia duduk lebih dekat disebelah Serena, meskipun Serena langsung membuat celah. 

   "Kau sengaja kan, berkata seperti itu? Agar aku berhenti menangis dan menjadi bahagia meskipun hanya sesaat?" Serena kembali marah. "Kau memang selalu begitu dari dulu. Mengejarku ketika aku sedih, dan ketika aku kembali mengharapkanmu... kau pergi. Pergi jauh tanpa melirikku sedikit pun." Serena menatap Sheeran dengan tegas, Sheeran terlihat murung - seperti membayangkan dirinya ketika jauh dari Serena. 

   "Serena," Sheeran menggapai tangan kanan Serena lalu menggenggamnya erat. Serena tidak melepaskannya, malah terbawa oleh suasana. "Jauh dari hari aku mengenalmu - ketika aku tidak sengaja menjatuhkan tempat pensilmu dulu - aku memang sudah menyukaimu. Aku menyukaimu, tapi tidak ada seorang pun yang tahu. Hanya aku dan hatiku. Andai saja aku bisa menyatakan segalanya sebelum kau bertemu dengan Frank dan aku bertemu dengan Sophia. Andai saja aku bisa memutar kembali waktu, aku akan menyatakannya. Aku akan menyatakannya kepadamu, jika aku tidak pernah malu atau risih menyukai gadis seperti mu. Aku suka rambutmu, aku suka wangi tubuh mu, aku suka cara kau memanggilku, aku suka segalanya yang kau lakukan. Bukan maksudku jahat untuk pergi jauh ketika kau membutuhkan ku, aku hanya ingin membatasi diri aku agar aku tidak menyayangimu. Aku tidak ingin menyayangimu, apalagi mencintaimu. Bagiku, menyayangi dan mencintai seseorang adalah hal yang paling suci yang pernah ku lakukan. Tapi menurutku semuanya salah." Sheeran menghirup napas. "Hari demi hari aku tersadar jika rasa yang ku punya, bukan lagi suka. Tapi itu semua tumbuh menjadi sayang dan cinta terhadapmu. Aku tidak bisa membohongi diriku untuk tidak mencintaimu. Aku harus melakukan hal ini karena..." Sheeran berhenti bicara. Ia merasa lidahnya menjadi kaku dan kelu. Ia tidak tahu harus menyampaikan keegoisan dirinya seperti apa terhadap gadis seperti Serena.

   "Karena apa? Karena aku jelek? Karena aku tidak secantik Sophia? Karena aku aneh?" 

   "Bbbukaann," Sheeran menjadi gagap seketika. "Aku hanya gak ingin jika hubungan kita menjadi retak bahkan putus dan kembali tidak mengenal satu sama lain jika, katakanlah, kita putus suatu saat nanti." Sheeran mencoba untuk meyakinkan Serena. "Tapi sudah lah. Aku tidak ingin membuat malam terakhir pertemuan kita menjadi sedih dan bukan suatu hal yang menyenangkan. Lupakan segalanya. Anggap saja aku ini seseorang yang akan selalu berdiri dibelakangmu, menyemangatimu, dan ada selalu untuk mu." 

   "Omong kosong." 

   "Oh, kau tidak percaya?" Lalu Sheeran berdiri dan berteriak dengan keras, "KATAKAN PADA SERENA MULLER, BAHWA AKU, SHEERAN FLINCH AKAN SELALU ADA UNTUKNYA. SELAMANYAAAA!!!" 

   Serena tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Sheeran. Ia tersenyum sembari menghapus air matanya. Ia lalu menghampiri Sheeran dan memeluknya dengan erat. Seperti tidak ada lagi hari esok untuk bertemu dengan Sheeran. Seperti Ia sudah memenangkan hati Sheeran untuk yang pertamakalinya. Padahal, dalam hatinya masih ragu. Tapi Ia percaya jika apa yang dikatakan Sheeran, akan sepenuhnya dilakukan. 

   Sheeran memeluk kembali Serena dibawah kelap-kelip bintang yang indah dan ditempat dimana mereka dapat melihat cahaya perkotaan. Jantung Sheeran berdegub kencang, seakan-akan Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Begitu pun dengan Serena. Dengan senyuman yang belum luntur dari mulut mungilnya, Ia memeluk dan mengecup bibir Sheeran dengan mesra, seakan-akan mereka tidak akan bertemu kembali esok hari, hingga beberapa bulan kedepan.

   "I love you, Fr,.." Serena terhenti, "I mean, Sheeran.." Ia tersenyum.

   "I'm in love, will be in love, and always be in love with you, Miss Serena Muller." Ucap Sheeran sembari mengecup kening Serena.

(a short story by Farrah F Fonna)

Posting Komentar

0 Komentar